Minggu, 18 November 2012

Makam sang Pahlawan Tuanku Imam Bonjol

Pengantar:
Inilah berita gaya feature berseri pertama saya sejak bergabung di Harian Tribun Manado. Tulisan ini terbit empat seri tahun 2009, sekitar bulan Februari...(Bagi anda yang suka sejarah Pahlawan Tuanku Imam Bonjol baca ya..)



Potret Keberanian Melawan Penjajah (1)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Kata bijak yang diutarakan sang Founding Father, Presiden Pertama Republik Indonesia ini membuat generasi penerus bangsa pantas mengetahui makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol.

PETO Syarief Ibnu Pandito Bayanudin, atau lebih dikenal dengan gelar Tuanku Imam Bonjol, merupakan pahlawan nasional yang dimakamkan jauh dari tanah kelahirannya, Tanjung Bungo, Bonjol, Sumatera Barat.
Ia dimakamkan di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Dari Manado, makam ini hanya berjarak tujuh kilometer arah ke Kota Tomohon.

Saat berada di Kecamatan Pineleng, pada jalur kiri setelah jembatan pertama, terdapat sebuah gerbang bertuliskan, Gerbang Menuju Makam Pahlawan Nasional, Tuanku Imam Bonjol.
Di samping gerbang, terdapat patung pahlawan tersebut. Jarak dari gerbang ke makam sekitar satu kilometer. Makam itu berada di pinggir jalan, tepat di seberang jalan Masjid Imam Bonjol, Lotta.

Bagian kiri dan kanan kompleks bangunan seluas 75x25 meter, dikelilingi tembok setinggi satu setengah meter. Memasuki arean makam, pengunjung disambut taman mawar yang sederhana.
Pada bagian kanan taman, terdapat sebuah rumah, yang dulunya hanya sebuah pondok di tengah hutan sebagai tempat berteduh Tuanku Imam Bonjol. Rumah itu dulunya berangka kayu. Kemudian direnovasi menjadi bangunan permanen  dengan arsitektur Minangkabau oleh Syahril Sabirin, saat menjabat Gubernur Bank Indonesia.

Bekas rumah Imam Bonjol sekarang menjadi shelter atau tempat  menginap sementara bagi para penziarah yang bermalam. Bangunannya tergolong sangat sederhana.
Hanya rumah berlantai keramik dengan ruangan yang cukup lapang tanpa perabot. Selembar karpet merah terhampar, menjadi alas bagi mereeka yang ingin rebahan atau tiduran, dan sebuah ceruk ruang untuk tempat salat.

Menuju makam, harus melalui 32 anak tangga. Makan Tuanku Imam Bonjol seluas 12,5x8 meter ini beratap sirap. Aroma harum daun pandan langsung tercium ketika wartawan Tribun Manado masuk ke dalam ruangan, melalui pintu samping, satu dari tujuh pintu  yang ada.
Bau harum daun pandan itu berasal dari atas makam sang pahlawan, yang memang sengaja ditaburkan  oleh juru kunci makam, Ainun Mindo (73).

Bahkan mereka yang datang berkunjung dapat pula menaburkan  daun pandan bercampur bunga mawar merah yang telah disediakan.
Pada tembok dalam ruangan tersebut, terdapat relief  Tuanku Imam Bonjol menunggang seekor kuda putih. Di atas kudanya, tangan Imam Bonjol mengacungkan untuk menggambarkan keberaniannya melawan penjajah. Bangunan itu seluruhnya berlantai keramik,  bahkan di dalam ruangan, sisi tembok juga berlapiskan keramik.

Menurut Ainun, bangunan ini awalnya dibangun tahun 1960 oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Manado, serta telah dua kali di renovasi, yaitu tahun 1971  dan 1992.
"Tahun 1971 bangunan ini direnovasi dengan bantuan Yayasan Bundo Kanduang. Tahun 1992 kembali direhab atas persetujuan Menteri Perhubungan, yang ketika itu dijabat Azwar Anas," kata Ainun.
Makam itu  dikelilingi pagar rantai setinggi setengah meter. Pada batu nisannya bertuliskan, nama Peto Syarief Ibnu Pandito Bayanudin, bergelar Tuanku Imam Bonjol, pahlawan nasional, lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo, Bonjol, Sumatera Barat, wafat 6 November 1854 di Lotta.

Di belakang pagar bangunan makam, terdapat jalan menurun berupa anak tangga, menuju musala yang merupakan tempat salat Tuanku Imam Bonjol, persis di pinggir sungai Malalayang yang melintasi Pineleng.
"Musala ini dulunya berada di tengah sungai. Pada bulan Februari 2006, dihantam banjir besar hingga tergesere ke kanan sungai, tetapi kami memindahkan dan membangunya kembali di bagian kiri sungai," ujar Nurdin Popa (44), penjaga musala.

Ditambahkan Nurdin, renovasi musala itu, atas bantuan berbagai pihak, di antaranya seorang pengusaha etnis Tionghoa asal Jawa. "Waktu musala itu tergeser arus banjir, ada beberapa bantuan untuk memperbaikinya, seorang diantaranya pengusaha asal Jawa keturunan Cina itu," tutur Nurdin.
Makam ini bukan hanya sebagai tempat berziarah saja, tetapi sudah menjadi tempat tujuan wisata religius, yang sering dikunjungi warga jika hari libur, bulan puasa, dan lebaran.

"Kotak sumbangan yang tersedia tidak dipatok jumlah uang yang harus diberikan, tergantung keikhlasan dari pengunjung saja," tambah Nurdin.
Menurut Nurdin, dia dan sang ibu yang selalu merawat dan membersihkan kompleks  makam, walaupun tidak mendapat gaji dari pemda.
"Selama ini biaya perawatan berasal dari partisipasi pejabat yang berkunjung, dan kotak  sumbangan pemeliharaan bangunan," ujar Nurdin, yang juga ahli waris ke-lima kompleks makam (*)

Pengawal Setia Sunting Gadis Lotta (2)

Tak banyak yang tahu, saat diasingkan dari Sumatera Barat ke Manado oleh pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1839,   Tuanku Imam Bonjol hanya didampingi oleh seorang pengawal setia bernama Apolos Mindo.

WAKTU diasingkan ke Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, Tuanku Imam Bonjol baru berusia 65 tahun, sedangkan Apolos berusia 55 tahun.
Hari-hari di pengasingan dilalui Tuanku Imam Bonjol dengan berzikir dan kesendirian. Hingga akhir hayatnya, Imam Bonjol tidak menikah sehingga tidak memiliki keturunan di tempat barunya.

Berbeda dengan Apolos. Dia mempersunting seorang gadis desa bernama Menci Parengkuan. Keturunan Apolos-Menci inilah yang kemudian setia merawat makam sang pahlawan ini.
Kesetiaan Apolos tercermin pula dari makam Apolos dan keturunannya yang terletak di samping kanan kompleks makam Tuanku Imam Bonjol.

"Penjaga kunci makam sekarang, Ainun  yang juga ibu saya, adalah keturunan keempat dari Apolos. Saya sendiri ahli waris kelima," kata Nurdin Popa (44).
"Ibu saya mempunyai sepuluh anak, tiga telah meninggal. Di antara tujuh saudara saya yang tersisa, hanya dua laki-laki. Saudara lelaki yang pertama telah merantau ke Bitung. Sebagai anak laki-laki yang tersisa, maka sayalah penerus pemegang kunci makam kompleks ini," imbuhnya.

Ainun mengatakan, kompleks bangunan makam belum mempunyai sertifikat tanah, karena biaya pengurusan tanah per meternya mahal. "Tanah ini turun temurun hanya bersifat warisan. Ada sih keinginan mengurud sertifikat, hanya biayanya mahal," ujarnya.

Verry Runtunuwu, Sekretaris Desa (Sekdes) Pineleng Dua mengatakan, kompleks makam tersebut memang mempunyai ahli waris yaitu Ainun, keturunan langsung dari pengawal Tuanku Imam Bonjol. Tetapi secara de facto (ketentuan) makam tersebut juga aset pariwisata milik Desa Pineleng Dua.

"Mengenai sertifikat, kami merasa kompleks makam tersebut adalah aset pariwisata Desa Pineleng Dua, tetapi penghasilanya, pemerintah desa tak akan campuri, semuanya diserahkan kepada ahli waris untuk mengaturnya," ujar Verry beberapa waktu lalu.

Ditambahkan Verry, selama ini jika ada pejabat yang datang, baik  Bupati, Gubernur, dan lainya untuk berziarah, mereka tetap akan bekerjasama dengan pemerintah desa ini.
Makam Apolos Mindo, pengawal Tuanku Imam Bonjol saat diasingkan ke Desa Lotta oleh pemerintah kolonial belanda. Sangat  jauh berbeda dibanding makam Tuanku Imam Bonjol.

"Sebagai pengawal satu-satunya, makam Apolos dan keturunanya, yang ada disebelah kanan makam Tuanku Imam Bonjol, sungguh jauh dari kesan seorang pahlawan," tutur Nurdin.

Padahal, Menurut Nurdin, selama Tuanku Imam Bonjol di asingkan di sini, Apolos merupakan pengawalnya yang setia. Bahkan Ahli waris dari makam kompleks, merupakan keturunan langsung dari Apolos.
Pantauan Tribun Manado, makam Apolos tidak terurus. Nama di atas nisan tak terbaca jelas, belum lagi di sekitaran areal makam ditumbuhi rumput.

"Kalau bisa, pemerintah juga memperhatikan makam dari Apolos, sebab jasanya yang setia mengawal Tuanku Imam Bonjol, sepertinya dilupakan begitu saja oleh pemerintah," kata Nurdin.
Selama ini, makam dari Apolos, tak pernah mendapatkan bantuan untuk direnovasi. Sungguh berbeda dari makam Tuanku Imam Bonjol yang sudah beberapa kali mendapat renovasi.

"Sedangkan makam Apolos saja tak pernah direnovasi, boro- boro  mau merenovasi makam keturunan lainnya," kata Ainun.

Ditambahkan Ainun, dia dan anak-anaknya, jika meninggal nanti, akan di makamkan di samping kakek buyut mereka, Apolos Mindo yang terletak di samping kompleks makam Imam Bonjol (*)

Dikunjungi Cicit Berpangkat Letkol TNI AL (3)

DESA Lotta, Kecamatan Pineleng, pada tahun 1839,  mungkin hanya sebuah desa kecil di tengah hutan.  Letaknya yang terpencil pada zaman itulah yang membuat pemerintah Kolonial Belanda memilih Lotta sebagai tempat membungkam perlawanan Tuanku Imam Bonjol.

DIDAMPINGI Apolos Mindo, Tuanku Imam Bonjol tiba di Lotta dan menempati rumah pembuangan yang tak lebih dari sebuah dangau atau pondok sederhana.
Secara fisik dan pengaruh, perjuangan Tuanku Imam Bonjol telah berakhir. Namun jiwanya terus membara menentang penjajahan. Hari-harinya diisi dengan berzikir di atas sebuah batu di pinggir sungai di tengah hutan, tak jauh dari pondoknya.

Saat ini, batu tempat Tuanku Imam Bonjol sembayang, masih tersimpan di dalam sebuah musholah kecil di pinggir sungai. Di atas batu, masih ada bekas lutut, dua telapak tangan, dan jidat  Tuanku Imam Bonjol bersujud.

Ada pula sebuah sumur mata air. Para peziarah yang datang biasanya mengambil air dari sumur ini untuk dibawa pulang, sebab  diyakini mempunyai beberapa khasiat sebagai obat.




"Dulunya sumur ini hanya mata air kecil, tetapi sekarang di dalam  sumur sebelah kanan, ada lorong seukuran orang dewasa," kata Nurdin Popa (44) yang menjaga musholah.
"Batu ini dulunya berada di tengah sungai, hanya pada bulan Februari 2006, dihantam banjir besar hingga tersorong ke kanan sungai. Kami memindahkan dan membangunnya kembali di bagian kiri sungai," ujar Nurdin.

Tuanku Imam Bonjol meninggal pada 6 November 1854. Tidak disebutkan apa yang menyebabkan sang pahlawan ini meninggal. Yang jelas, banyak makamnya kini banyak dikunjungi.
Menurut Ainun, juru kunci makam Tuanku Imam Bonjol, cicit Tuanku Imam Bonjol bernama Angkasa, pernah datang berziarah  ke  makam ini. Angkasa, kata Ainun, adalah anggota TNI Angkatan Laut, berpangkat Letnan Kolonel.

"Waktu Angkasa mau berangkat sekolah ke Luar negeri, dia menelepon saya, untuk di doakan di samping makam, agar sekolahnya di luar negeri sukses," tambah Ainun.

Sejumlah pejabat yang diingat Ainun pernah berziarah, yakni para pejabat negara dari Markas Besar TNI, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Bagir Manan saat masih menjabat Ketua Mahkamah Agung, Try Sutrisno saat menjabat Wakil Presiden RI, artis Andi Soraya, dan Dorce Gamalama (*)

PLN Pernah Cabut Meteren Listrik (4/habis)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Kata-kata bijak ini mungkin bisa menggugah perlakuan terhadap makam Tuanku Iman Bonjol di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, yang tidak seistimewa nama sang pahlawan.


SELAMA ini perawatan makam Tuanku Imam Bonjol ternyata hanya mengandalkan bantuan sukarela peziarah. Tak heran minimnya dana membuat perusahaan listrik negara memutus aliran listrik ke makam.
"Karena tak pernah bayar rekening, PLN datang mencabut meterannya, tetapi  ada beberapa tentara yang datang memasangnya kembali tanpa meteran," ujar Ainun, juru kunci makam.

Dikatakan Ainun, Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan nasional, seharusnya pasokan listrik ke kompleks menjadi tanggungan negara.  "Negara harus menghargai jasa pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol. Masa biaya listrik kompleks makam harus kami yang tanggung," tambahnya.

Dikatakan, jika biaya listrik menjadi tanggungannya, tentu sangat memberatkan mengingat gajinya sebagai penjaga makam dari Departemen Sosial  (Depsos) Sulut hanya sebesar Rp 750 ribu.

"Untuk biaya perawatan sebesar Rp 750 ribu, mana cukuplah untuk kompleks sebesar ini. Biaya perawatan berasal dari sumbangan-sumbangan dan kotak partisipasi, bukan diambil dari gaji pribadi saya," ujarnya.
Ainun menambahkan, untuk pembuatan beberapa fasiliatas di makam, memang  benar-benar mengandalkan sumbangan. Seperti pembuatan bak air untuk peziarah mengambil air wudhu, berasal dari sumbangan pribadi Syachril Sabirin saat menjabat Gubernur BI.

"Waktu bikin bak air, ada sumbangan pribadi dari BI sebesar satu juta rupiah. Sisanya saya dan anak-anak yang usahakan," ujar Ainun yang kini terbentur dana untuk membangun  toilet umum bagi peziarah.
Dikatakan Ainun, sudah dua tahun dia memasukan lamaran ke Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Sulut, agar cucunya, Mamat,  diberi gaji per bulan. Sebab selama ini Mamat yang selalu membantunya merawat komplek makam.

"Saya sudah tua, selama ini Mamat yang membantu. Sudah dua tahun lamaran  saya kirim ke Disbudpar, agar mamat digaji per bulan, namun belum mendapakan jawaban," ujarnya.

Ainun menceritakan, dia pernah mengirim proposal permintaan bantuan pemeliharaan kompleks makam ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat (Sumbar).

Gayung bersambut, Arwan Kasri, Ketua DPRD (Sumbar) saat itu, memberikan  bantuan pribadi sebesar Rp 20 juta. "Proposal langsung direspon Pak Arwan,  dengan amanat  ke sekretarisnya Ibu Titi, uang sebesar Rp 20 juta langsung diserahkan pada saya. Tetapi uang itu diserahkan kepada Yasasan Bunda Kanduang, yang sampai sekarang tidak pernah saya dapatkan," keluh Ainun yang membuka warung sebagai tambahan penghasilan.

Untuk diketahui, Makan Tuanku Imam Bonjol mengalami beberapa kali perombakan. Tahun 1960 makam dibangun oleh Pemerintah Daerah Kota Manado. Tahun 1971, makam direhab atas prakarsa, dirancang, dibiayai, dan dibangun oleh Yayasan Bunda Kanduang. Tahun 1992, direhab atas persetujuan Menteri Perhubungan Azwar Anas. (sekian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar